Senin, 19 Agustus 2013

Nabi Muhammad Dibenci Karena Aqidahnya

Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan sosok manusia paripurna. Beliau memiliki akhlak agung yang tiada tandingannya. Karena akhlaknya, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dicintai dan dihormati segenap kalangan. Tua-muda, laki-perempuan semua sangat terkesan dengan pribadi agungnya. Kemuliaan kepribadian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bukan baru hadir setelah beliau diangkat Allah menjadi Nabi. Bahkan sejak masa jahiliyah masyarakat musyrik Quraisy Mekkah menjuluki beliau dengan ”Al-Amin” (laki-laki terpercaya). Hal ini bahkan diabadikan di dalam firman Allah : 

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
’Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qolam ayat 4)

Namun siapapun yang mengenal sejarah hidup Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti tahu bahwa dalam hidupnya beliau juga memiliki musuh. Dan tidak sedikit di antaranya yang sedemikian benci kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sehingga berniat membunuh manusia mulia ini. Sehingga muncullah suatu pertanyaan di dalam benak fikiran kita. Jika akhlak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diakui sedemikian mulia, lalu mengapa beliau masih mempunyai musuh? Mengapa masih ada manusia yang berniat membunuhnya jika semua orang sepakat bahwa akhlak beliau sedemikian mengagumkan?
Saudaraku, hal ini hanya menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih utama daripada perkara akhlak yang menyebabkan manusia menjadi siap bermusuhan dengan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Hal itulah yang dinamakan dengan ”Al-Aqidah” atau keimanan. Siapapun orang yang memusuhi Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pastilah orang yang tidak suka dengan ajaran aqidah atau keimanan yang dibawakannya.
Mereka tidak bisa memungkiri kemuliaan akhlak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, namun mereka sangat tidak suka dengan ajaran aqidah Tauhid yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam da’wahkan kesana-kemari. Sebab menurut mereka, ajaran Tauhid mengancam eksistensi ajaran mereka.
Ajaran mereka, yaitu kemusyrikan, menyuarakan eksistensi banyak ilah (tuhan), sedangkan ajaran aqidah Tauhid menegaskan hanya ada satu ilah di muka bumi yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Lalu seseorang yang berikrar syahadat Tauhid diharuskan mengingkari eksistensi berbagai ilah lainnya untuk hanya menerima dan mengakui Satu ilah saja.
Sehingga dalam catatan Siroh Nabawiyyah (sejarah perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam) kita sempat menemukan bagaimana paman Nabi, yakni Abu Tholib, diminta oleh para pemuka Musyrik Quraisy untuk melobi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mau menghentikan seruan da’wah Tauhid-nya dengan imbalan apapun yang diinginkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Tetapi apa jawaban Nabi shollallahu ’alaih wa sallam terhadap permintaan mereka?
”Demi Allah, hai Pamanku…! Jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan urusan ini, maka saya tidak akan melakukannya, sampai Allah memenangkannya atau aku hancur dalam melaksanankannya…!”
Pada dasarnya seruan Tauhid inilah seruan abadi para Nabi dan Rasul utusan Allah. Umat manusia sepanjang zaman didatangi oleh para Nabi dan Rasul secara bergantian dengan membawa misi mengajak manusia agar menghamba semata kepada Allah dan menjauhi Thoghut.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

’Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (QS An-Nahl ayat 36)

Sebelum para Nabi dan Rasul mengajarkan apapun, mereka senantiasa mendahulukan pengajaran akan hakikat fundamental pengesaan Allah. Tiada gunanya segenap amal-sholeh dan amal-ibadah diajarkan kepada manusia jika tidak dilandasi sebuah pemahaman sekaligus keyakinan mendasar akan keesaan Allah. Bahkan Al-Qur’an menggambarkan bahwa hakikat kebencian kaum kafir hingga tega menyiksa sesama manusia lainnya ialah dikarenakan manusia lain itu memiliki keimanan akan keesaan Allah semata.

وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

”Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS Al-Buruuj ayat 8-9)

Inilah hakikat permusuhan dan konfrontasi di dunia. Permusuhan yang sesungguhnya ialah permusuhan karena pertentangan aqidah bukan yang lainnya. Seorang mu’min sepatutnya menyadari bahwa Nabi kita yang mulia akhlaknya itu tidak pernah dibenci lantaran akhlaknya. Namun setiap bentuk kebencian dan permusuhan yang diarahkan kepada beliau senantiasa bertolak dari ketidak-relaan manusia untuk menerima sekurang-kurangnya mentolerir keberadaan aqidah Tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Maka sudah sepantasnya kita selalu introspeksi dan evaluasi diri. Jika dalam kehidupan ini kita ternyata dimusuhi manusia, maka jangan bersedih dulu. Sebab Nabipun pernah dimusuhi. Namun selanjutnya kita perlu lihat, apakah manusia memusuhi kita lantaran akhlak kita atau aqidah kita. Jika ternyata kita dibenci lantaran akhlak kita, maka sudah sepatutnya kita ber-istighfar dan memperbaiki diri. Karena Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak pernah dibenci manusia lantaran akhlaknya. Namun jika kita dibenci lantaran aqidah kita, maka sepatutnya kita bersyukur dan bersabar. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabatnya-pun dibenci karena aqidahnya. Itupun dengan satu catatan, yaitu kita selama ini memang sudahterus-menerus berusaha meluruskan dan mengokohkan aqidah Tauhid kita setiap hari. Semoga saudaraku…

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139)

Sumber : eramuslim.com

Jumat, 12 Oktober 2012

AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW ( sebagai Uswah Hasanah )


Arti dari Muhammad adalah yang terpuji, ini merupakan sebuah nama yang baik dan istimewa. Dari nama tersebut terlihat sikap dan perilakunya yang baik. Kesabaran, ketabahan, keberanian, keadilan, ketegasan, dan lemah lembutnya menggambarkan seorang yang memiliki kepribadian yang sempurna.
Kesempurnaan akhlaknya ditunjukkan melalui ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kitab suci umat Islam ini merupakan gambaran dari akhlaknya Nabi Muhammad saw.. Ketika Siti Aisyah ditanya oleh para sahabat tentang akhlak Rasulullah saw., ia menjawab dengan singkat: “Akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an.”
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang akhlak Nabi Muhammad saw.. Ayat tersebut sekaligus menjadi nama-nama lain dari Rasulullah saw.. Salah satunya adalah al rauf (belas kasihan), yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan, sangat menginginkan (keinginan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. At-Taubah (9): 128)

Akhlak Nabi sebagai Uswah Hasanah
Secara bahasa uswah artinya teladan, hasanah adalah baik. Jadi, uswah hasanah adalah teladan yang baik. Sebagai panutan dan contoh, Nabi Muhammad saw. memiliki akhlak yang baik dan sekaligus menjadi teladan bagi umatnya.
Firman Allah swt.: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab (33): 21)
Wujud dari uswah hasanah selain terdapat di dalam Al-Qur’an, juga melalui sunahnya. Sunah atau hadis adalah keseluruhan dari kehidupan Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun himmah atau cita-citanya yang belum terwujud.
Setiap perkataan Nabi Muhammad saw. baik masalah hubungan dengan Allah maupun masalah sosial kemasyarakatan menjadi uswah hasanah. Baik dari cara berbicara maupun isi pembicaraannya adalah contoh yang harus ditiru oleh umatnya. Ketika Nabi Muhammad saw. berbicara selalu jelas dan tegas, sehingga orang yang diajak bicara bisa memahaminya. Demikian juga materi yang dibicarakan tidak menyimpang dari syariat dan ajaran Allah swt..
Selain perkataan, perbuatan Rasulullah saw. pun menjadi contoh. Dari mulai tidur, berjalan, duduk, makan, minum, berpakaian, dan semua tingkah lakunya menjadi teladan bagi umatnya. Oleh karena itu, Allah selalu menjaga dan memelihara tingkah laku Nabi Muhammad saw.. Ia tidak pernah berbuat salah kepada siapa pun. Ketika beliau bermuka masam kepada salah seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum, Allah swt. langsung menegurnya.
Firman Allah swt.:
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barang kali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).” (Q.S. ‘Abasa (80): 1-3).
Ketetapan ataupun taqrir Nabi Muhammad saw. juga menjadi uswah bagi umatnya. Ketika salah seorang sahabat bernama Khalid bin Walid menyajikan hidangan makanan berupa daging “dab” (sejenis biawak). Khalid mempersilakan kepada Rasulullah saw. untuk menyantapnya, kemudian beliau menjawab:
Sabda Rasulullah saw.:
“Tidak (maaf), berhubung binatang ini tidak terdapat di kaum umatku, aku jijik padanya!” Kata Khalid: “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah saw. hanya melihat kepadaku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)  
Terakhir yang menjadi uswah hasanah adalah cita-citanya. Ada cita-cita Rasulullah saw. yang belum terlaksana karena beliau telah wafat. Contoh hadis ini salah satunya ketika beliau bercita-cita untuk berpuasa tanggal 9 Asyura.
Sabda Rasulullah saw.:
“Di kala Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata: Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Jawab Rasulullah: Tahun yang akan datang, insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan.” (H.R. Muslim dan Abu Daud)
Dengan demiikian jelas bahwa akhlak Nabi Muhammad saw itu sangat terpuji dan mulia. Akhlak beliau ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Beliau adalah sosok panutan dan contoh yang patut diteladani dan ditiru oleh kita semua selaku umat Islam yang mengikuti ajaran syariatnya.
Dengan dalil-dalil tentang akhlak Nabi Muhammad saw. yang dicantumkan, semoga  dapat menjadi cermin bagi kita, dan berharap kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.